“Benar aku yang mengambil darah perawanmu. Tapi, maafkan aku. Aku tidak mencintai kamu. Aku menikahi kamu karena terpaksa,” kataku untuk terakhir kalinya. Prak. Prak. Mobil warna hitam itu meluncur ke dasar Sungai Ciliwung. Lalu suasana senyap. Hari itu adalah hari ulang tahun perkawinan aku dan Dewi, 14 Maret 2011. Semua yang terjadi adalah takdir dari yang maha kuasa. Pernikahanku adalah pernikahan gempita. Pernikahan meriah ala para bangsawan Jawa-Madura. Namun sesungguhnya aku datang dari keluarga biasa-biasa saja. Dewi datang dari keluarga kelas menengah. “Aku tidak mau menikah kecuali sama kamu. Kamu yang mengambil darah perawanku,” kata Dewi suatu ketika. Dua belas tahun yang lalu ketika Dewi dan aku sama-sama kuliah di Yogyakarta, kota pelajar dan mahasiswa. Kota tempat istilah kumpul kebo diperkenalkan akibat maraknya hidup serumah tanpa nikah yang dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa Yogyakarta, dari dulu sampai sekarang. Aku sendiri tinggal di dekat Taman Sari. Ucapan Dewi itu menghentak aku. Aku sebenarnya tidak terlalu mencintai Dewi. Jujur aku menerima Dewi hanya karena kasihan melihat Dewi dipertunangkan dan dijodohkan sejak lulus SMA. “Aku menerima kamu karena kamu putus tunangan dengan Hendra,” kataku pada Dewi. “Rachadyan, aku tulus banget mencintaimu. Percayalah. Kalau aku tak mencintaimu mana mungkin aku menyerahkan tubuh, jiwa dan ragaku untukmu,” jawab Dewi. Maka kami menikah. Selang satu tahun lahir permata cinta Hersana. Dua tahun berikutnya lahir Hendrata. Kini aku masih memiliki anak balita tiga tahun, Bagas. Perjalanan cinta dan rumah tangga selama ini baik-baik saja. Aku memerintahkan pada Dewi untuk mengenakan jilbab - walau Dewi sekolah SD-SMA Katolik - Dia menurut. Aku sebenarnya ingin agar Dewi memberontak. Karena sebenarnya aku tidak mencintainya. Aku menikahi Dewi karena terpaksa. Dewi memaksa aku untuk menikahinya. Sedangkan aku adalah laki-laki yang menarik. Jingga, teman kerjaku tampak sangat menc intai aku. Maka kami menjalin hubungan percintaan. Itu kali pertama aku selingkuh. Dewi tahu mengenai perselingkuhan kami. “Dewi, maafkan aku. Aku khilaf,” kataku meminta maaf. Dasar Dewi perempuan terhormat dan berjiwa besar, dia memaafkan aku. Selang beberapa tahun timbul penggoda, Wildasari Purnama hadir dalam hidup aku. Diam-diam aku menjalin kasih dengannya. Sampai pada suatu saat Dewi tahu ketika Wilda melahirkan anak. Aku sempat diusir keluar rumah. Namun, lagi-lagi aku meminta maaf padanya. Kali yang ketiga ini seperti nista buat aku. “Aku bukan seperti kamu. Aku adalah perempuan terhormat,” teriak Dina Nawangsari Pambayun. Aku kaget dibuatnya. Aku tak tahu penyebab kemarahannya. Aku diam seribu bahasa. “Kamu cuma numpang di emperan tanah pekarangan Papaku. Kamu kurang ajar,” kata Pambayun lagi. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu Pambayun lagi. Aku kembali ke pangkuan istriku, Dewi. “Kamu, laki-laki tidak merasa diuntung. Kamu memperlakukan aku seperti ini. Kamu kira aku rela. Ya tampaknya aku rela karena aku mencintaimu. Kamu akan aku hukum,”kata Dewi suatu saat. Ya memang aku akui bahwa aku bukan berasal dari kalangan bangsawan Jawa, walau aku berasal dari Yogyakarta. Sedang Dewi berasal dari keluarga kelas menengah. Seharusnya aku bersyukur mendapatkan cinta Dewi. Sampai saat ini aku masih mengurusi orang tuaku. Bahkan aku tidak pernah memberikan gajiku atau memberi tahu Dewi berapa penghasilan aku. Belakangan aku dengar Dewi mulai dekat dengan Harsya, teman sekolahnya di Jakarta. Ingatanku pergi ke mana-mana. Melompat-lompat, dada mulai terasa sesak. “Kamu suatu saat akan membayar kesalahan kamu, Rachadyan,” ancam Wildasari Purnama. Aku masih ingat dalam gelap. Hari ini hari ulang tahun pernikahan. Aku seharusnya sudah sampai ke rumah. Namun, ada tiga orang tadi menjemput paksa aku dan aku dipaksa naik mobil warna hitam ini. Sampai tiba-tiba semua gelap. Di dalam mobil itu ada tiga perempuan bertopeng. Melihat gelagatnya mungkin mereka Dewi, Pambayun dan Wilda. Aku bisa melihat kaki putih dan luka di tangan kiri Dewi. Lalu mobil meluncur sendiri masuk ke dalam sungai. Kini semua serba terang. Anehnya banyak orang mengerubungi tubuhku. Aku melihat tubuhku tergeletak di tanah. Ternyata tubuhku baru saja diangkat dari dasar sungai. Aneh sekali. Ada mobil di dalam sungai. ” Mampus, Rachadyan.” kata Hendra, mantan tunangan Dewi. Duh, Dewi. Maafkan aku. Dewi dan Hendra bergandengan tangan meninggalkan tempat tubuh aku tergeletak. Pambayun dijemput suaminya. Wilda menggendong anaknya - yang juga anakku, didampingi Niko, suaminya. Mereka berjalan ke warung kopi di pinggir jalan dekat sungai menikmati kopi sore. Aku melihat tubuhku sendiri tergeletak namun aku tak bisa bergerak. Berkali-kali aku berteriak. Tapi aku tak bisa didengar oleh orang-orang. Aku berusaha bangkit, tapi tetap tak bisa bergerak. Lalu tampak dokter memegang nadiku. Aku terkejut setengah mati mendengar perkataan dokter itu. “Dia telah meninggal. Tak bisa diselamatkan,” kata dokter itu. TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar